Pendekatan Teori Struktural Fungsionalisme Dalam Peran BPD

Memahami Peran BPD Menggunakan Pendekatan Teori Struktural Fungsionalisme


edukasinfo.com | Teori fungsionalisme struktural menurut beberapa ahli (dalam Muis, 2013:13) merupakan teori yang tertua dan berpengaruh besar hingga saat ini. Robert Nisbet sendiri menyatakan: “Jelas bahwa fungsionalisme struktural adalah satu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang”. Disamping itu Kingsley Davis (1959) juga berpendapat bahwa, fungsionalisme struktural adalah sinonim dari sosiologi. Selain itu, muncul lagi tokoh lain seperti Alvin Goulduer (1970) yang secara tersirat berpendapat serupa ketika ia menyerang sosiologi Barat melaui analisis kritis terhadap teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons (Ritzer, 2004:117).


Teori fungsionalisme struktural sendiri muncul menjadi bagian dari analisis sosiologis pada tahun 1940-an dan meraih masa kejayaannya pada tahun 1950-an. Pada saat tersebut fungsionalisme struktural menjadi strategi teoritis standard yang diikuti mayoritas sosiolog, dan hanya sebagian kecil yang menentangnya (Sanderson, 2003:8).


Teori ini pertamakali dikenalkan oleh tokoh sosiologi klasik Auguste Comte atau yang akrab disebut “Bapak Sosiologi”. Kemudian tokoh fungsionalisme klasik lainnya yang mengembangkan teori ini yakni: Dahrendorf, Herbert Spencer, dan Emile Durkheim. Selain itu, tokoh-tokoh sosiologi modern juga ikut serta dalam merincikan teori fungsionalisme struktural ini lebih lanjut yakni: Talcott Parsons, dan Robert K. Merton (Sunarto, 1993: 239).


Beberapa gambaran yang disajikan Dahrendorf (dalam Sunarto, 1993:239), mengenai essensial dari prinsip-prinsip pokok teori fungsionalisme struktural yakni: Pertama, teori ini mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik. Artinya bahwa masyarakat merupakan sistem yang kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dengan intens dan saling ketergantungan, dan setiap bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya untuk mencapai penyatuan dan kesatuan dalam masyarakat.


Kedua, setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangsih pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu sistem. Essensi pokok yang kedua ini melihat adanya suatu bagian dari sebuah masyarakat yang tetap eksis, karena bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, eksistensi bagian-bagian tertentu dari masyarakat tersebut dapat dijelaskan apabila fungsi-fungsi dari masyarakat sebagai keseluruhan dapat diidentifikasi dengan jelas. Sehingga struktural dalam suatu masyarakat menjadi jelas dan dapat berjalan dengan baik.


Ketiga, setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsensus (kesepakatan) mengenai nilai-nilai dikalangan para anggotanya. Hal ini berarti dalam suatu masyarakat mempunyai mekanisme tersendiri untuk mengintegrasikan dirinya. Salah satu bagian penting dari mekanisme  ini adalah komitmen para anggota masyarakat kepada serangkaian kepercayaan dan nilai yang sama. Terjadinya konsensus dalam mekanisme penerapan nilai-nilai inilah yang kemudian akan mendorong terciptanya integrasi dalam suatu kelompok.


Esensi pokok keempat, teori ini menggambarkan setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil. Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan ekuilibrium atau homeostatis, adapun gangguan pada salah satu bagian cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercapai harmoni atau stabilitas. Sehingga perubahan-perubahan sosial yang lazimnya tidak biasa atau tidak seharusnya terjadi dalam masyarakat, akan diupayakan tidak mengganggu stabilitas masyarakat, tetapi jika hal tersebut tetap terjadi maka perubahan itu pada umumnya akan diarahkan untuk membawa pada konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.

Pada dasarnya teori fungsionalisme struktural menekankan pada keteraturan dan keseimbangan. Untuk itu, asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lainnya, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya (Soetomo, 1995:15).


Dari uraian teoritis yang telah dipaparkan diatas, jika diletakkan pada masalah peran Badan Permusyawaratan Desa dalam pembangunan, maka ada beberapa uraian penting yang menarik. Teori ini melihat bahwa untuk mewujudkan equilibrium atau keseimbangan suatu struktur masyarakat yang relatif gigih, harmonis, dan stabil, maka perlu adanya eksistensi maupun peran anggota sebuah lembaga formal secara fungsional khususnya anggota Badan Permusyawaratan Desa untuk dapat menjalankan fungsi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa Menceh secara intensif. Sehingga hal tersebut dapat mewujudkan keseimbangan dan proses kemajuan pembangunan Desa.


Masalah kurang berperannya para anggota Badan Permusyawaratan Desa dalam pembanguan Desa merupakan suatu bentuk disfungsional atau tidak sempurnanya fungsi sebuah lembaga dalam struktural organisasi pemerintahan Desa. Sehingga cenderung anggota lembaga/badan tersebut menjadi terbatas dalam memberikan sumbangsih atau konstribusi. Pada akhirnya struktur yang terintegrasi, stabilitas, dan proses kemajuan menjadi terhambat. Selain itu, bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, yang berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya pun menjadi tidak jelas dan sulit mencapai konsensus dalam masyarakat tersebut.

Comments