Soal dan Kunci Jawaban Miskonsepsi Literasi


Pada beberapa postingan sebelumnya telah dibahas mengenai konsep, sejarah, serta uji pemahaman literasi dan numerasi, maka kali ini kami akan bagikan sejumlah soal dan kunci jawaban esai tentang miskonsepsi terhadap makna literasi yang benar. Hal ini diperoleh dari sistem pelatihan di Portal Guru Belajar dan Berbagi seri Literasi dan Numerasi yang diikuti oleh penulis langsung.


1. Ada pandangan yang mengemukakan bahwa tradisi bertutur yang telah mengakar, tumbuh dan berkembang di masyarakat adalah menghambat literasi membaca (reading literacy) utamanya minat, kegemaran dan budaya membaca masyarakat. Bagaimana menurut bapak dan ibu mengenai hal ini?

Jawaban

Kelisanan dan literasi sering diurutkan dalam sebuah kontinuum yang linear. Seolah ketika sebuah bangsa memasuki era literasi atau memiliki perilaku literat, mereka telah menanggalkan budaya kelisanan (Dewayani, 2017; 16). Apabila ditelusuri lebih jauh, masyarakat zaman ‘kuno’ sebelum muncul huruf alfabet (abjad), mereka terbiasa mengemukakan ide maupun berkomunikasi secara lisan. Dari generasi ke generasi, karya intelektual diantara mereka diwariskan melalui tradisi dan budaya bertutur (orality).

Kemampuan dan keterampilan retorika justru merupakan suatu kebanggaan dan keunggulan yang menggambarkan tingkat kecerdasan yang dimiliki. Orality bukan merupakan kebiasaan bangsa Indonesia saja tetapi juga bangsa Arab yang dikenal dengan ummi (tidak membiasakan membaca dan menulis) (al Alusi, t.t.; 38-48) dan bangsa Yunani dan Romawi. Ternyata tidak secara otomatis, suatu masyarakat yang terbiasa menggunakan lisan dan belum mengembangkan-secara formal- kebiasaan membaca dan menulis dapat dijuluki illiterate.

Meski pengertian asal literasi adalah kemampuan untuk membaca dan menulis (ability to read and write), sehingga karenanya masyarakat yang mempraktekkan membaca dan menulis dikenal sebagai literate society, bukan berarti mereka yang masih menggunakan bahasa lisan bisa dituding tidak literat. Relasi antara tradisi bertutur (orality) dan literasi, sangat kompleks dan harus dipandang secara komprehensif (Harris, 1991, Thomas, 1992, Ong, 2002). Cara pandang ini yang harus kita pergunakan untuk memahami hubungan tradisi dan budaya lisan dengan literasi (dalam artian, membaca dan menulis) pada konteks masyarakat dan sosial budaya Indonesia sehingga tidak lagi muncul pendapat yang menyatakan bahwa rendahnya minat baca masyarakat kita disebabkan karena adanya kebiasaan bertutur (orality).

Apabila ditinjau dari keterampilan berbahasa (language skills), justru terdapat hubungan yang sangat erat antara kecakapan berbahasa lisan dengan kesiapan membaca. Pengetahuan mendalam yang menarik bagaimana murid-murid memperoleh pengetahuan awal mereka mengenai kerja literasi didapatkan dari proses-proses yang mana mereka mempelajari bahasa lisan (spoken language) (Ray dan Medwell, 1991;70-71). Semakin kaya murid-murid mendapatkan keluasan dan keragaman kosa kata, ujaran yang jelas dan lancar, kian melengkapi kekayaan bahasa mereka secara kognitif untuk mendukung kesiapan keterampilan membaca mereka.

Berbicara mengenai pengalaman akan memperluas stok konsep-konsep dan asosiasi kosa kata murid-murid (Anderson, 1985; 21-22). Pengalaman-pengalaman cerita memiliki signifikansi yang tinggi di dalam kehidupan kita dan di dalam perkembangan literasi, terutama murid-murid mendapatkannya dari cerita-cerita. Narasi bahkan menjadi aktivitas bahasa paling tua dan paling dasar (Whitehead, 1990, 97-98).

Berdasarkan hasil penelitian bahwa secara umum berbahasa lisan ternyata turut melengkapi suatu latar belakang pengalaman yang menguntungkan serta keterampilan bagi pembelajaran membaca. Kemampuan itu meliputi ujaran yang jelas dan lancar, diksi yang luas, dan beraneka ragam, penggunaan kalimat-kalimat yang lengkap dan sempurna apabila diperlukan, perbedaan pendengaran yang tepat, dan kemampuan mengikuti serta menelusuri perkembangan urutan suatu cerita, atau menghubungkan aneka peristiwa dalam urutan yang wajar.

Sesungguhnya penumbuhan budaya keaksaraan adalah dimulai dari keluarga. Ini yang lazim disebut emerging literacy. Emergent literacy menganggap bahwa perkembangan bahasa lisan tidak merupakan prasyarat untuk perkembangan bahasa tulis. Keduanya justru berkembang serentak dan saling mendukung dan mempermudah. Penumbuhan budaya keaksaraan ini dapat dilakukan melalui percakapan orang tua dan murid, mendengarkan, dan bercerita (Akhadiah, 1998; 33-35).

Umumnya murid-murid pada saat di rumah memperoleh konsep untuk memahami sesuatu, kejadian, pikiran dan perasaan serta kosa kata bahasa lisan untuk mengekspresikan konsep-konsep tersebut. Mereka mendapatkan tata bahasa (grammar) dasar bahasa lisan (oral language). Banyak murid mempelajari sesuatu mengenai bentuk-bentuk cerita, bagaimana bertanya dan menjawab pertanyaan, dan bagaimana menerima sedikit ataupun kadang-kadang banyak berupa huruf-huruf dan kata-kata.

Perkembangan awal pengetahuan mempersyaratkan membaca datang dari pengalaman berbicara dan belajar tentang dunia. Membaca tergantung pada pengetahuan yang luas. Pengalaman yang luas semata adalah tidak cukup. Ada cara yang mana orangtua berbicara ke anak-anak mereka tentang suatu pengalaman yang mempengaruhi pengetahuan apa yang anak-anak peroleh dari pengalaman itu dan kemampuan mereka berikutnya untuk menggambarkan perihal pengetahuan tersebut ketika membaca. Berbicara mengenai pengalaman akan memperluas stok konsep-konsep dan asosiasi kosa kata murid-murid (Suprajogo, 2020).


2. Di masyarakat terdapat tuntutan bahwa murid-murid usia dini harus diajarkan membaca, menulis dan berhitung (calistung). Tepatkah untuk memperoleh keterampilan dan kecerdasan literasi, mereka harus diajarkan calistung?

Jawaban:

Pada dasarnya murid pada usia dini yang terpenting adalah ditumbuhkan minat, kegemaran dan budaya literasinya. Mereka dapat belajar membaca, menulis dan berhitung dengan cara yang menyenangkan dan tidak dipaksa. Pandangan tentang murid usia dini harus bisa calistung dipicu oleh tuntutan saat memasuki sekolah dasar. Secara formal, kurikulum PAUD/TK memang tidak mengajarkan adanya aktivitas calistung (membaca, menulis dan berhitung). Namun terdapat anggapan bahwa murid yang tidak bisa calistung maka akan menjumpai kesulitan ketika memasuki jenjang SD. Alasan yang dikemukakan, diantaranya adalah kompleksitas teks pelajaran di SD dan untuk memahaminya setiap murid dituntut bisa calistung.

Di beberapa sekolah bahkan kemampuan calistung menjadi pra-syarat masuk sekolah dasar. Selain itu pembelajaran di sekolah dasar kelas awal hingga soal-soal ujian formatif maupun sumatif murid sekolah dasar didesain untuk murid yang sudah bisa membaca dan menulis. Di masyarakat, kita dengan mudah menjumpai PAUD maupun TK yang mempromosikan kelebihan sekolahnya memiliki program baca tulis dan menggaransi ketika murid lulus bisa calistung, justru banyak diminati.

Berawal dari pola pikir orangtua ini, seringkali guru hanya fokus mengembangkan potensi akademik (calistung) pada peserta didik, sehingga ada yang kecenderungan untuk mengabaikan berbagai potensi non akademiknya. Para guru dengan tuntutan ini sering dihadapkan kepada dua pilihan. Memilih mengikuti selera pasar atau bertahan pada idealisme pembelajaran yang sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan murid (developmentally appropriate practice).

Mengikuti penumbuhan budaya keaksaraan sejak dari rumah. Belajar membaca dan menulis tidak memerlukan pelajaran privat khusus. Alih-alih melalui pembelajaran langsung dan formal, murid-murid mempelajari bahasa tulis melalui interaksi dengan orang dewasa dalam situasi keaksaraan, dengan menjelajah sendiri berbagai tulisan. murid melalui pengamatan terhadap orangtuanya, menggunakan bahasa tulis untuk berkomunikasi. Mereka ‘mempelajari’ bahasa tulis dengan cara alamiah seperti dalam mempelajari bahasa lisan (Pappas, 1995; 19 dalam Akhadiah, 1998; 35).


3. Lazim di masyarakat bahwa aktivitas belajar bagi murid-murid usia dini harus diterapkan secara formal dengan instruksi yang terstruktur dan terprogram. Apabila di pendidikan murid usia dini maupun taman murid-murid hanya melakukan aktivitas dengan bermain maka dipandang bahwa mereka tidak belajar, mereka tidak berliterasi. Apa tanggapan bapak ibu perihal ini?

Jawaban:

Dunia murid usia dini (0-6 tahun atau 0-8 tahun) adalah dunia bermain. Cara belajar murid usia dini adalah dengan dan melalui bermain. Apa yang terbayang di benak kita dengan sebutan dan konsep aktivitas belajar? Belajar digambarkan sebagai kegiatan seorang siswa yang harus duduk manis di bangku, meletakkan tangannya di atas meja, harus menghadap lurus ke arah papan tulis, memegang buku teks pelajaran, diam seribu bahasa untuk benar-benar bisa mendengarkan apa yang disampaikan oleh bapak ibu guru di depan kelas.

Padahal aktivitas murid yang sebenarnya adalah aktivitas bermain. Bermain tidak boleh dipisahkan dari dunia murid-murid. Bermain adalah kebutuhan murid-murid secara alamiah. Tanpa diminta, diperintah apalagi dipaksa, murid-murid pasti sangat suka bermain. Bermain adalah suatu kegiatan mengasyikkan yang pasti membuat lupa waktu dan murid-murid tenggelam dalam keasyikan tersebut (Roshonah, 2015; 35).

Agar peningkatan kemampuan literasi dapat berhasil maka seharusnya literasi harus didorong melalui kegiatan berupa berbagai aktivitas yang menyenangkan dan mengasyikkan bagi murid-murid. Literasi dapat ditumbuh kembangkan dan dibudayakan melalui kegiatan bermain. Banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan bermain. Mmurid-murid dapat mengembangkan berbagai aspek yang diperlukan untuk persiapan masa depan mereka.

Bermain dapat membantu perkembangan tubuh secara fisik, perkembangan emosional, sosial dan moral murid selain perkembangan kognitifnya. Dengan bermain, murid-murid tidak sekedar tumbuh dan berkembang literasi baca, tulis dan berhitungnya, bahkan kemampuan-kemampuan literasi yang lainnya.

Melalui aktivitas bermain, murid-murid usia dini dapat memperoleh pengalaman pra-keaksaraan yang sangat kaya. Proses pengembangan bahasa murid-murid diperoleh dimulai dari bahasa lisan (spoken language) yang mereka dengarkan dan simak dalam keseharian. Mulai dari lingkungan yang paling dekat yaitu keluarga hingga orang-orang yang berada di sekitarnya dan di sekolah dasar.

Di dalam keluarga dapat dilakukan secara natural kegiatan yang penuh literasi dan diciptakan lingkungan literasi. Semuanya dilakukan dalam bentuk aktivitas bermain. Mulai bermain tebak-tebakan kata, mendengarkan cerita dan ikut terlibat dalam kegiatan bercerita, menggambar dan mewarnai gambar diiringi dengan memaknai gambar dengan mendengar komentar dari murid-murid, memanfaatkan kertas dan semacamnya dengan beragam alat tulis sederhana untuk melakukan kegiatan mencorat-coret, mengenali huruf-huruf dan kata-kata dalam bentuk mainan kartu dan sebagainya.

Lingkungan literasi dalam suasana yang menyenangkan dan mengasyikkan ini akan menjadi pondasi penting agar murid tumbuh minatnya, bergairah dalam membaca menulis dan berkembang kegemaran dan budaya bacanya. murid-murid harus dijauhkan dari aktivitas belajar yang memaksa dan dipaksakan. Dimana murid-murid cenderung digegas untuk bisa calistung misalnya dengan meminimalkan pengalaman pra-membaca yang menyenangkan.

Seringkali aktivitas di PAUD dan TK terdapat praktik-praktik belajar yang kurang memperdulikan kebutuhan murid untuk bermain dan pendekatan melalui bermain. Aktivitas membaca, menulis dan berhitung pun terkesan dipaksakan tanpa memperhatikan, apakah mereka suka atau tidak suka, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Di dalam ruang-ruang kelas SD, konsentrasi pada aktivitas belajar formal tidak jarang mengabaikan kesempatan murid didik untuk bermain guna menumbuhkembangkan dan meningkatkan kemampuan dan kecakapan literasinya melalui beraneka ragam kegiatannya.

Bagi siswa-siswi SMP dan SMA, belajar di sekolah seringkali menyita waktu yang mereka miliki untuk mengembangkan literasi dengan berbagai aktivitas yang menyenangkan dan mengasyikkan sesuai dengan hasrat, hobi dan bakat mereka. Sesungguhnya para siswa bisa mengembangkan literasinya melalui beragam kegiatan yang sangat variatif.

Hal tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan berpuisi, pidato, berdiskusi dengan topik-topik yang menarik perhatian remaja, bedah buku, membaca buku, bergantian dan saling membacakan buku, membuat dan mengisi majalah dinding, blog, dan web site, hingga cerpen, novel, esai populer dan menulis buku. Yang terpenting adalah bagaimana aktivitas literasi menjadi kegiatan yang mampu mewadahi mereka untuk mengaktualisasikan diri, menyalurkan kesenangan dan mengekspresikan gagasan positif, kreatif, dan inovatif remaja.


4. Benarkah definisi dan konsep literasi hanya semata-mata kegiatan membaca aksara (huruf)?

Jawaban:

Secara etimologis, literasi berasal dari bahasa Latin, literatus/literatus, yang diartikan pada awal abad 15 dengan terdidik, orang yang belajar, seseorang yang mengetahui (aksara) huruf, sosok yang memiliki pengetahuan mengenai huruf. Dalam istilah Yunani, grammatikos, diambil dari bahasa Latin, littera/litera, artinya huruf alfabet. Di akhir abad 18, istilah literasi secara khusus diartikan berkenalan dengan sastra. Pada tahun 1894, sebagai kata benda, literasi diartikan, seseorang yang bisa membaca dan menulis. Dari konsep dan definisi literasi awal tersebut tampaknya menjadi penyebab atau yang menimbulkan kesalahpahaman pandangan mengenai literasi.

Street (1984) mengkritisi program kemelekaksaraan ketika program literasi, yang awalnya sering dimaknai sebagai upaya menjadikan seseorang dapat membaca alfabet atau aksara yang digunakan secara dominan dalam suatu negara dijadikan alat untuk mendefinisikan kemajuan dalam perspektif ideologis bangsa atau kelompok masyarakat yang dominan. Mereka yang tidak dapat membaca aksara, kelompok ini akan mendapatkan label ‘tuna’, dan dengan demikian, terbelakang dan harus ‘dientaskan’ (Street dalam Dewayani, 2017; 12). Padahal dalam perkembangannya, literasi mengalami perluasan konsep, definisi, dan makna yang tidak dapat dilepaskan dari konteks yang ada.

Literasi membaca pada umumnya selalu diidentikkan dengan membaca teks berupa aksara (huruf). Membaca secara dominan selalu didefinisikan sebagai suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis melalui bahasa tulis (Hodgson dalam Tarigan, 1985). Membaca juga diartikansebagai suatu proses kegiatan mencocokkan huruf atau melafalkan lambang-lambang bahasa tulis. Tepatkah membatasi literasi membaca semata-mata hanya pada teks tertulis atau berupa aksara (huruf)?

Dalam ranah semiotika, teks adalah simbol yang memiliki makna dan berfungsi sebagai medium komunikasi. Teks bisa disimbolkan berupa aksara (huruf), angka dan gambar (visual). Maka membaca seharusnya tidak lagi hanya dimaknai sebagai aktivitas membaca teks dalam bentuk tertulis. Dari pengalaman masa lampau, telah ditemukan berbagai bukti berupa lukisan gua berupa coretan, gambar, atau cap yang terdapat di dinding gua atau tebing yang dibuat oleh orang-orang purba sebagai medium untuk menyampaikan pesan atau catatan-catatan peristiwa.

Bentuk visual yang terdapat di dinding-dinding gua merupakan alat komunikasi antar manusia pada zaman dahulu. Untuk saat ini, teks visual dalam bentuk gambar, ilustrasi, material dari media massa seperti iklan, poster, infografis, juga presentasi visual dalam bentuk bagan, grafik, diagram dan peta maupun objek bergerak (Dewayani, 2017, 11). Termasuk di dalam literasi membaca tentunya adalah membaca tanda-tanda alam sebagaimana yang sudah lazim dilakukan oleh manusia di manapun berada, masyarakat nusantara terdahulu hingga masih dipraktikkan oleh sebagian suku (etnis) tertentu seperti membaca bintang-bintang di langit untuk menentukan arah (navigasi), rasi Waluku (orion) dipakai para petani untuk menentukan masa tanam dan panen (bahasa Jawa, pranoto mongso), nelayan membaca iklim dan cuaca untuk menentukan melaut atau tidak, dan sebagainya.


5. Betulkah literasi hanya diidentikkan dengan keterampilan membaca dan tidak ada kaitannya dengan aktivitas menyimak dan berbicara serta aktivitas visual?

Jawaban:

Miskonsepsi berikutnya tentang literasi dianggap sebagai sebuah pandangan bahwa literasi identik dengan membaca, bukan yang lainnya. Hal ini juga salah satunya dipengaruhi oleh pendapat yang mengartikan literasi secara sempit yaitu kegiatan membaca. Konsep literasi sesungguhnya mencakup keterampilan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis (Whitehead, 1990; 172, Kennedy, 2012; 41).

Keempatnya merupakan keterampilan ataupun seni berbahasa (language arts, language skills). Satu dengan yang lainnya saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan (Guzzetti, 2002; 278-279). Aktivitas proses saling melengkapi dan konvergensi dari keempat keterampilan (seni) berbahasa ini akan meningkatkan kemampuan berpikir, berkomunikasi dan belajar seseorang.

Keempat keterampilan berbahasa tersebut harus ditumbuhkembangkan sejak dini. Literasi dini ini utamanya sudah harus dimulai dilakukan pada usia 0 tahun sejak kelahiran seorang bayi. Bahkan sesungguhnya ketika pertama kali tumbuh menjadi janin di dalam rahim seorang ibu hingga usia minimal 2 (dua) tahun (Hoe dan Golant, 1985, Roshonah dan Suprajogo, 2015, 2017) yang lebih dikenal dengan pengasuhan 1000 HPK (Seribu Hari Pertama Kehidupan) (BKKBN, 2018).

Secara umum, pertumbuhan dan perkembangan bayi secara fisik sudah menjadi perhatian orangtua. Namun perkembangan kecakapan literasi mereka belum menjadi fokus (Dewayani dan Setiawan, 2018). Dalam proses menumbuhkembangkan kecakapan literasi di rentang waktu 1000 hari itu melibatkan aktivitas mengajak berbicara, mendengar, mengajukan pertanyaan terbuka, bercerita untuk disimak, menyanyi, membacakan buku, menggambar, mencorat-coret, dan sebagainya. Menenggelamkan (immersion) mereka secara penuh dalam lingkungan budaya keaksaraan (literacy environment).

Memakai konsep sesuai dengan perkembangan (developmental appropriateness) pada kegiatan pembelajaran dengan konteks baik di rumah maupun di sekolah harus mencerminkan kebutuhan perkembangan murid: fisik, emosional, sosial dan kognitif-linguistik (Otto, 2015; 156). Di masa remaja, mereka terlihat berbeda dari murid-murid, terutama cara berfikir dan berbicaranya. Remaja secara kognitif diantaranya ditandai dengan kemampuan mereka membuat penalaran abstrak dan kecepatan pengolahan informasi yang meningkat (Papalia dan Feldman, 2014; 24).

Murid-murid pada usia dasar cukup mahir menggunakan bahasa, tetapi remaja membawa penyempurnaan selanjutnya. Kosa kata berlanjut untuk berkembang sebagaimana aktivitas membaca ketika mereka mulai dewasa. Di usia 16 hingga 18 tahun rata-rata orang muda mengetahui sekitar 80.000 kata. Dengan kemampuan berpikir abstraknya, remaja dapat menentukan dan membahas hal yang abstrak, sudah menggunakan istilah-istilah yang mengekspresikan hubungan logis serta menjadi lebih sadar akan kata-kata sebagai simbol yang dapat memiliki beragam makna dan senang menggunakan ironi, permainan kata dan metafora.

Pada usia remaja juga sudah lebih terampil dalam menggunakan perspektif sosial yaitu kemampuan untuk merangkai kata-kata pada tingkat pengetahuan dan sudut pandang orang lain (Owens, 1996 dalam Papalia dan Feldman, 2014; 27). Berbasis pada konsep, tahapan dan karakteristik murid dan remaja sesuai pertumbuhan dan perkembangannya, maka kecakapan literasi mereka menuntut optimalisasi penggunaan dari semua aspek keterampilan berbahasa yang meliputi mendengar, berbicara, membaca, dan menulis secara menyeluruh dan integratif, tidak parsialistik dan dikotomistik. Yang mana ini harus diterjemahkan dalam strategi, metode, dan teknik menumbuhkembangkan dan meningkatkan literasi di dalam kurikulum, materi maupun media pembelajaran yang tidak hanya terpaku pada format aktivitas membaca semata.

Terlebih lagi di era digital sekarang, dimana siswa tumbuh dalam lingkungan sosial yang banjir stimulasi visual. Mulai dari media cetak yang atraktif dengan inovasi digital dalam desain, warna dan tata letak, media elektronik berupa televisi, film (Dewayani, 2017; 43), perangkat playstation (PS) yang menyajikan informasi, hiburan dan permainan dan media digital berupa gawai, tablet dan semacamnya. Literasi kekinian tetap dikembangkan melalui penerapan keempat keterampilan berbahasa itu dengan pemanfaatan berbagai variasi media yang ada secara fungsional.

Strategi, metode, dan tekniknya tentu diaktualisasikan sesuai kebutuhan, tuntutan dan gaya hidup serta perilaku remaja saat ini. Literasi tidak dapat dipaksakan, apalagi pada remaja hanya dalam bentuk aktivitas membaca. Oleh karenanya, media multimodal, media yang melibatkan dua atau lebih sistem semiotika baik bahasa lisan dan tulis, audio, visual, audiovisual, gestur dan teks spasial, menjadi bagian penting dari kehidupan siswa. Sudah tepat, buku Panduan GLS (Gerakan Literasi Sekolah) ketika mengartikan literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara (GLS, 2017).


6. Literasi adalah pelajaran bahasa dan sastra. Karenanya apapun aktivitas yang disebut sebagai literasi merupakan kewenangan, kompetensi dan tanggung jawab guru pelajaran bahasa dan sastra.

Pertanyaan:
Apa tanggapan bapak dan ibu tentang pernyataan tersebut di atas?

Jawaban:

Kebanyakan masyarakat begitu mendengar kata literasi, pastilah membayangkan dengan mata pelajaran bahasa dan sastra. Jika dalam konteks Indonesia, berarti identik dengan bahasa dan sastra Indonesia. Pandangan ini tidak dapat dipungkiri ada dalam kenyataan masyarakat sehari-hari, bahkan di dunia pendidikan baik di sekolah dasar dan menengah hingga perguruan tinggi. Persepsi kita tentang literasi biasanya diasosiasikan dengan kegiatan yang berkaitan erat dengan membaca buku, puisi, berpidato dan semacamnya, mengarang cerita pendek (cerpen) dan novel, bercerita berupa dongeng, hikayat, legenda dan sebagainya.

Pendapat umum menyatakan literasi adalah bahasa dan sastra, literasi itu bagian dari mata pelajaran dan mata kuliah bahasa dan sastra, literasi itu ‘milik’ dan ranah ilmu linguistik. Dalam praktik di sekolah, literasi merupakan kompetensi para guru bahasa dan sastra Indonesia. Di perguruan tinggi, literasi adalah disiplin ilmu dosen bahasa, sastra dan budaya. Guru dan dosen yang secara formal tidak mempelajari bahasa dan sastra merasa tidak perlu mengetahui apalagi memahami, menguasai dan terampil literasi. Dengan kata lain, masih muncul dan berkembang luas anggapan bahwa literasi secara konsep maupun substansi, baik dalam teori maupun praktik, tidak ada hubungan sama sekali dengan bidang-bidang yang lainnya.

Padahal jika literasi disematkan kepada hampir setiap topik, literasi dapat menggantikan istilah ‘pengetahuan’ (Dewayani, 2017; 11). Bahkan ternyata sejak tahun 1940, istilah literasi sering digunakan dalam artian memiliki pengetahuan maupun keterampilan di satu bidang tertentu, maka ada literasi komputer, literasi statistik, literasi media, literasi sosial, literasi ekologis, literasi bencana, literasi kesehatan (https://en.wikipedia.org/wiki/Literacy), literasi parenting dan sebagainya, selain literasi baca tulis dan literasi numerik sebagai literasi dasar (basic literacy).

Ada yang sangat menarik, terkait mata pelajaran ilmu pasti yaitu matematika, misalnya. Hampir sebagian besar siswa meyakini matematika sebagai mata pelajaran yang sulit dan bahkan menjadi momok yang ‘menyeramkan’. Ternyata keterampilan membaca yang kita kenal dan biasa dipraktikkan itu bisa sangat membantu dalam memahami matematika. Kemampuan menarasikan matematika secara deskriptif, menjelaskan rumus-rumus yang ada secara aplikatif dengan menggunakan contoh-contoh berupa cerita yang sederhana dan menarik, mengoptimalkan otak kanan, utamanya kecerdasan bahasa untuk mengerti dan memahami logika dan penalaran yang terkandung di dalam matematika serta mengenali bahwa matematika sebagai media kreatif.
Dengan keterampilan narasi yang bisa dikembangkan dari literasi bahasa baik berupa baca dan tulis tersebut, maka matematika menjadi lebih mudah dan menyenangkan. Dari pola seperti ini, tentunya dapat diterapkan di dalam mempelajari dan mengajarkan mata pelajaran ataupun mata kuliah yang berbasis matematika dan sejenisnya di disiplin ilmu pengetahuan yang lain maupun teknologi.

Demikian beberapa soal dan jawaban dari miskonsepsi terhadap literasi yang ada di tengah masyarakat kita. Semoga artikel ini dapat memberikan gabaran lebih jelas mengenai konsep literasi yang sesungguhnya.

Comments