Kearifan "Dilah Jojor" bagi Masyarakat Suku Sasak


Setiap masyarakat memiliki tradisi maupun kebudayaan yang unik dan berbeda-beda. Perbedaan kebudayaan ini melahirkan kearifan lokal yang berbeda pula pada setiap masyarakat. Kearifan yang dimiliki menjadi pedoman masyarakat dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat.

Pada masyarakat Lombok, salah satu tradisi yang menjadi kearifan adalah menyalakan “Dilah Jojor” atau sering disebut dengan tradisi "Maleman". Tradisi ini merupakan salah satu kearifan lokal yang dapat dijumpai khususnya pada masyarakat Desa Jabon Tentan Desa Bagu Kecamatan Pringgarata Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Dilah Jojor berasal dari kata "Dilah" yang artinya lampu, dan "Jojor" merupakan bentuk dari lampu yang diambil dari bahasa suku Sasak. Dalam proses pembuatannya Dilah Jojor memiliki beragam variasi dengan berbagai bentuk maupun ukuran.
Pada umumnya Dilah Jojor memiliki panjang 15 cm sampai dengan 30 cm dan bahkan ada sebagian masyarakat yang membuat Dilah Jojor sepanjang 40 cm. Sebagaian besar masyarakat biasa menggunakan Dilah Jojor dengan panjang 15 cm dalam tradisi "Maleman" ini.

Proses pembuatan Dilah Jojor ini cukup rumit karena memerlukan waktu yang panjang, bahan yang cukup langka serta proses pembuatannya yang masih dilakukan secara manual tanpa alat atau mesin canggih yang ada pada saat ini.

Dilah Jojor sendiri terbuat dari biji buah jamplung yang dikupas kemudian dijemur sampai benar-benar kering (ketika kering warnanya akan menjadi coklat). Selanjutnya buah jamplung yang kering tersebut disangrai sampai gosong atau berwarna hitam, barulah kemudian ditumbuk dan dicampur dengan kapas sampai tercampur rata menjadi adonan. Tahap terakhir yakni menempelkan adonan tadi pada stik yang terbuat dari bambu yang panjangnya bisa disesuaikan dengan kebutuhan.

Tradisi Maleman diyakini sebagai bentuk perwujudan sebuah harapan bahwa Malam Lailatul Qadar di bulan Ramadhan akan turun di setiap masing-masing rumah.

Adapun untuk pelaksanaan Tradisi Maleman dianjurkan atau dilaksanakan ketika selesai berbuka puasa dan setelah selesai shalat maghrib atau menjelang ibadah sholat tarawih pada 10 malam terakhir Bulan Ramadhan pada malam ganjil saja yaitu malam ke 21, 23, 25, 27, 29. Sementara masyarakat Dusun Jabon Tentan biasanya menyalakan Dilah Jojor pada tanggal 25 dan 27.

Disamping itu, menurut perspektif para tokoh kontemporer mengungkapkan bahwa penggunaan Dilah Jojor oleh masyarakat terdahulu dikarenakan oleh minimnya pengetahuan dan ketersediaan listrik dan bahkan tidak ada listrik sebagai penerang, sehingga muncul ide kreatif untuk memanfaatkan barang-barang maupun benda-benda yang ada sebagai sumber penerangan.
Dipilihnya buah jamplung sebagai bahan dasar dikarenakan kandungan minyaknya yang banyak sehingga dapat menghasilkan api yang bagus untuk penerangan dan bahkan apinya dapat bertahan lama. Dilah Jojor dapat menyala 10 menit sampai dengan 15 menit tergantung dengan ketebalan dan banyaknya campuran bahan.

Meski demikian, tradisi Maleman telah diyakini secara turun temurun sebagai sebuah tradisi yang sakral oleh masyarakat Lombok khususnya di Jabon Tentan. Menariknya tradisi ini tidak pudar meski zaman terus berkembang dengan teknologi yang semakin canggih terutama dalam hal ketersediaan tenaga listrik sebagai penerang sudah merata di seluruh masyarakat Lombok.


Penulis: Laura Febriani, Ketua Jurnalistik SMAPTA.

Comments