Miskonsepsi Terhadap Numerasi


Konsep Pendidikan Abad 21 adalah tuntutan kepada murid untuk memiliki berbagai macam keterampilan maupun kemampuan yang dibutuhkan dalam menghadapi berbagai tantangan dan menyelesaikan permasalahan sosial di tengah kehidupan sehari-hari. Keterampilan numerasi meliputi keterampilan berinovasi, keterampilan dalam memanfaatkan teknologi dan kecakapan hidup.

Generasi Abad 21 harus dimiliki kompetensi yang di dikenal dengan istilah 4C yaitu kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah (critical thinking), kemampuan komunikasi (communication), kreativitas dan inovasi (creativity) dan kemampuan berkolaborasi (collaboration).

Sementara prasyarat yang harus dimiliki oleh murid untuk menggali kemampuan Abad 21 adalah kemampuan literasi. Literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat.


Salah satu keterampilan literasi yang dianggap penting adalah literasi numerasi atau numerasi. Numerasi sendiri bukanlah hal baru yang asing didengar di tengah masyarakat terutama dalam kegiatan pembelajaran. Terlebih lagi kebijakan pemerintah saat ini tentang penerapan Asessmen Kompetensi Minimum (AKM) menuntut murid memiliki kemampuan numerasi yang dapat diukur.

Faktanya, selama ini istilah matematika banyak dikaitkan dengan pembelajaran matematika. Numerasi seringkali disamakan dengan pembelajaran matematika. Hal ini merupakan salah satu miskonsepsi atau kesalahpahaman tentang numerasi. Padahal numerasi dan matematika merupakan dua hal yang berbeda tetapi berkaitan satu dengan yang lainnya.

Numerasi bersifat praktis dan dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Cakupan implementasi numerasi sangat luas, tidak hanya di dalam mata pelajaran matematika. Berikut beberapa miskonsepsi tentang numerasi yang banyak muncul, diantaranya:


a. Numerasi hanya berhubungan dengan proses berhitung.

Proses berhitung dalam pembelajaran merupakan proses utama yang banyak dilakukan oleh murid. Pengenalan terhadap bilangan dan proses berhitung diperkenalkan kepada murid dimulai dari level yang paling rendah. Dasar untuk membentuk hubungan yang dibutuhkan dalam menggambarkan sekelompok objek adalah melalui proses pengembangan pemahaman murid terhadap bilangan dan bagaimana peranannya dalam mendeskripsikan kuantitas.

Pada level-level yang lebih tinggi dalam pembelajaran perlu melakukan eksplorasi terhadap bilangan dan proses berhitung. Berbagai macam sistem bilangan dan bagaimana proses berhitung untuk menyelesaikan permasalahan matematika mulai diperkenalkan kepada peserta didik.

Numerasi kemudian akhirnya banyak dipersepsikan sebagai sesuatu yang hanya berhubungan dengan proses berhitung. Miskonsepsi ini sering mengidentikkan numerasi adalah proses berhitung, padahal tidak seperti itu. Dalam perkembangannya, memberikan banyak aktivitas berhitung saja kepada murid tidak lantas membawa murid mampu menjadi insan yang memiliki kemampuan numerasi yang baik (Steen, 2001).

Aspek penting dalam proses berhitung salah satunya adalah kepekaan terhadap bilangan atau biasa disebut sebagai number sense atau biasa dikenal dengan intuisi bilangan. Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan matematika yang ada di kehidupan sehari-hari membutuhkan intuisi bilangan tersebut. Dalam implementasinya, proses berpikir dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap permasalahan sehari-hari sangat dibutuhkan.


b. Numerasi adalah Matematika

Numerasi adalah matematika merupakan miskonsepsi yang sering muncul di kalangan masyarakat. Padahal konsep numerasi tidaklah sama dengan kompetensi matematika. Meski numerasi dan matematika berlandaskan pada pengetahuan dan keterampilan yang sama, tetapi perbedaan keduanya terletak pada pemberdayaan pengetahuan dan keterampilan tersebut.

Seseorang yang memiliki pengetahuan matematika saja belum tentu memiliki kemampuan numerasi. Hal ini disebabkan oleh cakupan numerasi yang sangat luas meliputi keterampilan mengaplikasikan konsep, fakta, prosedur dan alat matematika dalam situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari atau beragam konteks. Keterampilan numerasi biasanya akan muncul pada saat permasalahannya sering tidak terstruktur (unstructured), memiliki banyak cara penyelesaian, atau bahkan tidak ada penyelesaian yang tuntas, serta berhubungan dengan faktor nonmatematis.

Pada dasarnya numerasi merupakan alternatif lain dalam mengembangkan kemampuan matematika (Steen, 2001). Matematika adalah sesuatu yang abstrak yang menawarkan tentang suatu kebenaran yang absolut tentang hubungan ideal berbagai macam objek. Sedangkan numerasi berhubungan dengan sesuatu yang kontekstual dan konkret, yang menawarkan solusi terhadap permasalahan rill yang terjadi.

Matematika dan numerasi seperti mata uang yang memiliki dua sisi berbeda namun terkait satu dengan yang lainnya dan sangat dibutuhkan oleh murid. Untuk diketahui bahwa pembelajaran matematika yang sudah diimplementasikan dalam kehidupan nyata berarti sudah termasuk pembelajaran numerasi. Namun jika pembelajaran matematikanya hanya matematika murni dan sebatas konsep abstrak dan hanya bersifat teoritis, maka belum bisa dikatakan pembelajaran numerasi.


c. Numerasi menjadi tanggung jawab guru matematika

Pernyataan yang mengatakan bahwa kemampuan numerasi hanya dapat diajarkan oleh guru matematika merupakan sebuah miskonsepsi juga. Miskonsepsi ini sering muncul sebagai implikasi dari pernyataan matematika adalah numerasi. Meski memang peran matematika dalam peningkatan kemampuan numerasi murid sangat penting. Hal ini dikarenakan oleh numerasi berhubungan dengan bagaimana seseorang dapat menghubungkan dan mengkomunikasikan berbagai informasi numerik dalam berbagai konteks.

Proses pembelajaran bilangan dan operasi bilangan tentu identik digunakan dalam pembelajaran matematika. Hal inilah yang kemudian membawa opini pada kesimpulan bahwa numerasi hanya diajarkan oleh guru matematika di kelas matematika saja. Faktanya, pembelajaran numerasi adalah tanggungjawab semua guru mata pelajaran selain matematika dan dapat diajarkan dalam semua mata pelajaran sesuai konteks masing-masing yang dapat diekspplorasi.

Dalam berbagai konteks yang berbeda murid akan dihadapkan dengan aplikasi bilangan dan operasinya. Murid akan melakukan interpretasi data, pengukuran dan hal yang terkait lainnya yang semuanya melibatkan bilangan dan operasinya. Dengan demikian murid diharapkan mampu melihat berbagai hubungan bilangan yang disajikan dalam berbagai konteks dan mengkomunikasikannya. Pada posisi ini dibutuhkan peran guru tidak hanya guru matematika melainkan semua guru mata pelajaran dapat membimbing murid dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dalam konteks-konteks yang disajikan tersebut.

Untuk itu kemampuan numerasi harus lebih dioptimalkan pada semua bidang pelajaran. Tidak hanya oleh guru, bahkan numerasi juga diharapkan dapat dimunculkan di dalam lingkungan sekolah oleh staf nonguru atau melalui kegiatan-kegiatan rutin yang terjadi di sekolah, yang memberikan kesempatan nyata bagi murid untuk mengaplikasikan kemampuan numerasinya.

Apabila kemampuan numerasi tidak dikenalkan dan diimplementasikan di bidang lain, maka murid akan kesulitan menggunakan matematika untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dunia nyata karena tidak terlatih menggunakan matematika di bidang pelajaran lain. Sebagai contoh pada mata pelajaran olahraga murid dapat menghitung jumlah pembakaran kalori dalam setiap gerakan olahraga. Contoh lain dalam pelajaran sosiologi murid dituntut mampu menganalisis data kuantitatif pada materi penelitian sosial, dan banyak lagi contoh-contoh implementasi kemampuan numerasi dalam pelajaran selain matematika.


d. Level SMA tidak butuh Asesmen Numerasi

Terdapat anggapan dan/atau asumsi yang mengatakan pada level SMA tidak membutuhkan Asesmen Numerasi. Tentu pernyataan ini sangat keliru, dimana kemampuan numerasi sangat dibutuhkan dalam setiap jenjang pendidikan mulai sejak tahap paling awal perkembangan murid hingga level yang paling tinggi. Bahkan kemampuan numerasi sudah dikembangkan sejak sebelum level sekolah.

Kemampuan numerasi dan literasi murid di level SMA tetap perlu dinilai untuk melihat sejauh mana murid di level tersebut memahami berbagai konteks dan mampu menyelesaikan permasalahan sehari-hari. Prinsipnya numerasi dibutuhkan oleh setiap orang bahkan orang dewasa. Ada kekhawatiran tentang kompetensi orang dewasa dan sudah ada asesmen untuk mengukur kompetensi tersebut salah satunya adalah The Programme for the International Assessment of Adult Competencies (PIAAC).

e. Dibutuhkan mata pelajaran khusus untuk belajar numerasi.

Miskonsepsi selanjutnya adalah adanya anggapan bahwa untuk menguasai keterampilan numerasi dibutuhkan mata pelajaran khusus seperti matematika. Pernyataan tersebut tentu keliru karena kemampuan numerasi murid dapat dikembangkan di mata pelajaran apapun tidak hanya matematika saja. Numerasi dapat disertakan dan dikembangkan di mata pelajaran apapun.

Numerasi sendiri berkaitan dengan bagaimana murid menyelesaikan berbagai konteks dunia nyata dengan melibatkan pengetahuan matematikanya. Sehingga untuk mengembangkan kemampuan numerasi tidak dibutuhkan mata pelajaran khusus. Sebagai contoh saat pembelajaran olahraga basket, guru dan murid bisa berdiskusi mengapa melempar bola ke ring harus dengan jarak tertentu. Hal ini akan memunculkan diskusi tentang peluang. Semakin jauh maka semakin kecil peluangnya bola masuk, semakin dekat maka akan semakin besar peluangnya. Oleh karena itu, di topik apa saja sangat mungkin tentang penggunaan matematika/ numerasi.


f. Numerasi identik dengan soal cerita.

Miskonsepsi yang terakhir adalah pernyataan bahwa numerasi identik dengan soal cerita. Konsep yang tepat adalah numerasi berkaitan dengan masalah kontekstual yang dipecahkan dengan melibatkan kemampuan matematikanya. Permasalahan kontekstual dapat berupa penyajian grafik, data atau situasi kontektual yang dalam penyelesaiannya murid dapat menggunakan pengetahuan matematikanya. Guru dituntut untuk lebih kreatif dalam menentukan masalah kontekstual yang dapat membantu murid untuk meningkatkan kemampuan numerasinya.

Dengan demikian anggapan kebanyakan guru yang mengatakan mengembangkan keterampilan numerasi cukup dengan memberikan banyak soal cerita seperti yang ada di buku pelajaran merupakan kekeliruan. Memberikan soal cerita adalah salah satu cara dari sekian banyak cara yang dapat digunakan oleh guru. Artinya dengan soal cerita saja tidak cukup untuk mengembangkan kemampuan numerasi.

Comments