Miskonsepsi terhadap Literasi dan Numerasi, Guru dan Orangtua Wajib Tahu


Pendidikan Abad 21 merupakan tantangan baru bagi seluruh elemen pendidikan. Dalam konsep pendidikan abad-21 peserta didik dituntut agar memiliki berbagai macam keterampilan maupun kemampuan yang dibutuhkan dalam menghadapi berbagai tantangan dan menyelesaikan permasalahan sosial di tengah kehidupan sehari-hari.

Generasi Abad 21 harus dimiliki kompetensi yang di dikenal dengan istilah 4C yaitu kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah (critical thinking), kemampuan komunikasi (communication), kreativitas dan inovasi (creativity) dan kemampuan berkolaborasi (collaboration).

Adapun prasyarat yang harus dimiliki oleh peserta didik guna menggali kemampuan Abad 21 adalah kemampuan literasi. Literasi merupakan kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat.


Salah satu keterampilan literasi yang dianggap penting adalah literasi numerasi atau numerasi. Numerasi sendiri bukanlah hal baru yang asing didengar di tengah masyarakat terutama dalam kegiatan pembelajaran. Terlebih lagi kebijakan pemerintah saat ini tentang penerapan Asessmen Kompetensi Minimum (AKM) menuntut murid memiliki kemampuan numerasi yang dapat diukur.

Sementara masyarakat sendiri sering keliru dalam memahami konsep literasi dan numerasi. Berikut beberapa miskonsepsi atau kekeliruan dalam memahami literasi dan numerasi yang banyak muncul, diantaranya:


1. "Literasi dan numerasi menjadi tanggung jawab sekolah, bukan keluarga"

Miskonsepsi yang pertama yaitu miskonsepsi pemahaman bahwa literasi dan numerasi menjadi tanggung jawab sekolah, bukan keluarga. Padahal keluarga merupakan media sosialisasi yang pertama dan utama dalam proses pembentukan karakter anak, terutama di bidang literasi dan numerasi. Pentingnya peran keluarga dalam proses sosialisasi diharapkan dapat menjadi motor penggerak literasi dan numerasi peserta didik.

Hal tersebut didukung dengan kualitas waktu yang dimiliki peserta didik di lingkungan keluarga yang sangat banyak dibandingkan dengan waktu pendidikan formal di sekolah yang cukup terbatas. Untuk itu, sebagai unit terkecil dari masyarakat pendidikan di keluarga terkait literasi dan numerasi harus bisa menggelinding menjadi bola salju dan berefek positif terhadap literasi dan numerasi di lingkungan yang lebih besar di konteks masyarakat dan negara.


2. "Rumah dianggap sebagai tempat tumbuh kembangnya fisik peserta didik semata, bukan sumber pembelajaran yang sangat berpotensi meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi peserta didik"

Miskonsepsi kedua yakni mengenai tidak potensialnya rumah sebagai sumber pembelajaran literasi dan numerasi. Rumah dianggap sebagai tempat tumbuh kembang fisik peserta didik semata, bukan sumber pembelajaran yang sangat berpotensi meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi peserta didik. Pada dasarnya, rumah sebenarnya merupakan lingkungan yang sangat memiliki potensi sebagai sumber pembelajaran literasi dan numerasi.

Dalam lingkungan keluarga bisa diciptakan kegiatan peningkatan literasi dan numerasi seperti menanamkan kebiasaan membaca buku pada peserta didik, mendesain kegiatan membaca bersama, mendemonstrasikan permainan yang bersifat edukatif, seperti scrabble, monopoli, ABC 5 Dasar, teka-teki, dan lain sebagainya. Selain itu, rumah juga bisa dijadikan sarana untuk mengembangkan minat peserta didik untuk menulis surat kepada sahabat, keluarga, atau saudara, menulis ulang kegiatan menyenangkan yang dijalani bersama keluarga, penyediaan ruangan atau tempat baca yang nyaman di rumah, menceritakan sejarah atau memori keluarga.


3. “Orang tua beranggapan bahwa dengan menggelar jadwal rutin membaca bagi peserta didik-peserta didik mereka, pendidikan literasi dan numerasi telah berjalan dengan benar dan sesuai dengan harapan”

Berikutnya, miskonsepsi juga terjadi dalam implementasi rutinitas literasi dan numerasi di rumah. Peserta didik dapat diminta rutin membaca untuk durasi waktu tertentu. Setiap hari orang tua dapat membuat jadwal peserta didik untuk membaca bacaan tertentu, terutama bacaan-bacaan yang terkait dengan pelajaran yang dipelajari di sekolah atau pun juga bacaan-bacaan ringan seperti komik, majalah, koran, dan lain sebagainya.

Sering kali orang tua beranggapan bahwa dengan menggelar jadwal rutin membaca bagi peserta didik-peserta didik mereka, pendidikan literasi dan numerasi telah berjalan dengan benar dan sesuai dengan harapan. Padahal, apa yang dicapai oleh peserta didik adalah sebuah kegiatan rutin yang mungkin terkesan membosankan. Terlebih lagi peserta didik mungkin merasa bahwa melakukan kegiatan rutin tersebut semata- mata karena ingin patuh terhadap apa yang disampaikan dan diajarkan oleh orang tua mereka.

Demikian uraian miskonsepsi atau kesalahpahaman tentang konsep literasi dan numerasi yang sering terjadi di tengah masyarakat. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak berkepentingan.

Comments