Miskonsepsi Implementasi Kurikulum Merdeka, Berikut Faktanya.


Dalam rangka meluruskan miskonsepsi terhadap mengimplementasikan kurikulum tersebut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (Ka. BSKAP), Anindito Aditomo memberikan apresiasi kepada kepala sekolah dan guru yang aktif belajar mandiri melalui platform Merdeka Mengajar.

Pada acara Silahturahmi Merdeka Belajar (SMB) bertajuk "Meluruskan Miskonsepsi Implementasi Kurikulum Merdeka", yang dilaksanakan secara daring pada Kamis (21/7), Anindito mengungkapkan bahwa banyak modul pelatihan guru dan kepala sekolah yang dapat diakses secara gratis di platform Merdeka Mengajar menggunakan akun belajar.id.

"Panduan pembelajaran dan informasi terkait kurikulum dapat di akses melalui laman resmi kurikulum.kemdikbud.go.id. Kepala sekolah dan guru dapat belajar mandiri melalui platform yang telah disediakan tersebut," ungkap Anindito.

Anindito mengatakan, Kemendikbudristek melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang ada di Provinsi terus melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, organisasi-organisasi guru, dan lainnya untuk terus memberikan pemahaman terkait Kurikulum Merdeka agar tidak terjadi miskonsepsi.

"Kurikulum Merdeka dirancang untuk memudahkan guru dalam mengajar yang berorientasi pada murid, sehingga menghadirkan pengalaman belajar yang terbaik bagi anak-anak kita," ucapnya.

Pada acara silaturrahmi ini, seorang Guru Penggerak Angkatan 3, SMP Negeri 1 Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Yenni Puspandari mengatakan pesan yang ingin disampaikan dalam Kurikulum Merdeka adalah pembelajaran yang mengadopsi dari falsafah Ki Hajar Dewantara secara konkrit untuk melayani kebutuhan siswa.

"Saya melihat pemahaman para guru tentang implementasi Kurikulum Merdeka sangat beragam. Pertama yang perlu dipahami adalah konsep pembelajaran Ki Hajar Dewantara dengan penerapannya," kata Yenni.

Menurutnya, sejak awal dimulainya pengenalan implementasi Kurikulum Merdeka banyak pihak memiliki
 berbagai pandangan sehingga timbul berbagai miskonsepsi. Namun demikian seiring berjalannya waktu pandangan tersebut dapat diluruskan sejalan dengan proses belajar di komunitas-komunitas ditingkat daerah.

"Saya merangkum ada tiga miskonsepsi yang terjadi. Pertama adalah siswa dalam satu kelas mempunyai kebutuhan belajar yang sama. Konsep seperti ini harus segera diubah karena setiap siswa ini unik, mereka mempunyai karakter yang berbeda, mempunyai kebutuhan dan cara belajar yang berbeda, sehingga sebagai guru tidak boleh memperlakukan dengan sama," terang Yenni.

Miskonsepsi kedua, terkait dengan administrasi pembelajaran. Beberapa guru masih bingung dengan format modul ajar, dan lainnya. Kemendikbudristek telah mengaskan bahwa pemerintah telah memfasilitasi dengan hadirnya aplikasi Merdeka Mengajar.

"Melalui aplikasi tersebut para guru bisa berselancar, membaca, menggali referensi terkait modul ajar. Formatnya tidak perlu sama, disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan, konteks isi disesuaikan dengan kurikulum yang diterapkan,” jelas Yenni.

Terakhir adalah pembelajaran proyek lintas mata pelajaran (Mapel) yang berorientasi pada hasil produknya saja. Miskonsepsi ini terjawab dengan adanya konsep mengutamakan proses dalam pelaksanaan proyek.

"Produk yang baik menjadi kebanggaan bagi satuan pendidikan atau siswa, namun ada yang tidak boleh dilupakan yaitu proses yang terjadi, bagaimana siswa berinteraksi, berkomunikasi, mengembangkan profil Pelajar Pancasila. Proses-proses ini yang harusnya dikuatkan. Kemudian dengan melakukan hal tersebut kita sudah bersinergi dan sejalan dengan pemerintah untuk mempercepat pengembangan profil Pelajar Pancasila,” tuturnya.

Sumber: Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor: 428/sipers/A6/VII/2022

Comments