Guru Butuh Advokasi Bukan Persekusi

Muhamad Ali Muis
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) serta arus Informasi di era Revolusi 4.0 atau sering disebut era serba digital saat ini sangat pesat. Perkembangan ini mempengaruhi semua aspek kehidupan termasuk lembaga-lembaga sosial. Mendorong perubahan yang disertai dengan penyesuaian (adjustment) terhadap tuntutan era digital merupakan tantangan besar. Pendidikan sebagai salah satu lembaga vital suatu bangsa harus melakukan perubahan progresif sesuai perkembangan zaman.

Pendidikan diharapkan dapat mewujudkan cita-cita bangsa sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1-2 dan Pasal 32 secara tegas mengatur tentang pendidikan. Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan ditengah perkembangan zaman yang semakin modern di era digital saat ini, pendidikan karakter menjadi penting untuk ditanamkan kepada generasi milineal. Dimana generasi ini penuh dengan tantangan global yang sangat kompleks dalam arus modernisasi beserta dampaknya. Sehingga dibutuhkan pendidikan karakter yang dapat menjaga jati diri generasi bangsa seutuhnya.

Dengan demikian, dunia pendidikan menuntut semua elemen bangsa memberikan kontribusi nyata bagi generasi milineal dalam proses pembentukan karakter. Salah satu elemen bangsa yang terkait dengan pendidikan adalah guru. Guru menjadi ujung tombak keberhasilan mencetak generasi penerus bangsa yang berkarakter. Dengan kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru yakni kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial, guru diharapkan mampu menghadirkan pembelajaran yang mendidik sekaligus berkompeten dalam pembentukan karakter peserta didik selaku generasi milenial sesuai harapan bangsa.

Sementara pada saat yang bersamaan, tuntutan terhadap guru tersebut justru berbenturan dengan permasalahan-permasalahan personal dalam dunia pendidikan yang sampai hari ini masih menjadi dilematis. Guru dalam mengajar, mendidik dan membentuk karakter mulia terhadap peserta didik seringkali menemukan kendala berupa masalah pelanggaran nilai-nilai dan norma sosial oleh peserta didik yang tidak dapat ditoleransi lagi. Sebagai contoh, peserta didik secara berulangkali ditemukan merokok di lingkungan (WC) sekolah, tindakan bolos dengan loncat tembok, melakukan miras, dan melakukan tindakan-tindakan melanggar tata tertib sekolah lainnya yang kadarnya sudah mencapai penyimpangan sekunder. Sehingga dalam rangka mempertahankan stabilitas sosial khususnya dalam lingkungan sekolah, guru pada akhirnya melakukan upaya pengendalian yang sifatnya represif (penindakan) dalam batas kewajaran karena gagal menggunakan upaya persuasif (pencegahan).


Namun yang terjadi justru tindakan-tindakan persekusi dari peserta didik maupun wali murid yang sangat responsive dan reaktif sehingga timbul kekerasan terhadap guru. Sebagai contoh tindakan kekerasan yang terjadi terhadap guru antara lain:
  1. Joko Susilo, seorang guru di SMK NU 03 Kaliwungu-Jawa Tengah yang dianiaya oleh siswanya sendiri;
  2. Budi, seorang guru kesenian di SMAN 1 Torjun, Sampang, Madura, Jawa Timur yang meninggal dunia akibat dianiaya siswanya;
  3. Nurul Kurniawati, guru Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Darussalam, Kecamatan Pontianak Timur, dipukul siswanya;
  4. Muhammad Samhudi, guru di SMP Raden Rahmad Kecamatan Balongbendo Sidoarjo yang dituntut hukuman 6 bulan penjara karena mencubit siswa yang tidak mengikuti ibadah Sholat Dhuha. dan;
  5. Masih banyak kasus-kasus lainnya menimpa guru di Indonesia yang berawal dari mendisiplinkan peserta didik.

Mengingat berbagai kasus kekerasan terhadap guru yang telah disebutkan di atas, maka sangat perlu upaya advokasi khususnya terhadap profesi guru. Beberapa upaya dari pemerintah secara yudisial/hukum sebenarnya telah menjamin perlindungan terhadap profesi guru, diantaranya:
  1. Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;
  2. PP Nomor 74 Tahun 2008 Pasal 39, 40, dan 41;
  3. Putusan Mahkamah Konstutusi (MK) Nomor 110/PUU-X/2012;
  4. Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dan;
  5. Yurisprudensi hukum oleh Mahkamah Agung (MA) lainnya.

Meski adanya payung hukum yang melindungi profesi guru, permasalahan kriminalisasi terhadap guru tidak serta merta hilang dengan sendirinya. Permasalahn ini merupakan momok yang terus membayang-bayangi guru dalam mengajar dan mendidik. Untuk itu, upaya atau solusi yang sangat perlu dilakukan menurut penulis dari sisi hukum, ekonomi, dan sosial-budaya adalah:

Pertama, pembentukan tim advokasi berjenjang sangat dibutuhkan. Tim advokasi inilah yang nantinya akan memberikan pendampingan hukum kepada guru dalam berbagai masalah yang terkait dengan pendidikan. Advokasi dimaksud dapat dibentuk secara berjenjang dari tingkat satuan pendidikan hingga tingkat dinas pendidikan. Dengan demikian, para guru akan terfasilitasi permasalahan hukumnya. Kedua, melakukan sosialisasi hukum secara konsisten dan kontinyu kepada semua pihak terkait khususnya kepada guru, peserta didik, wali murid, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat luas secara umum. Ketiga, perlu upaya membuat konsensus antara sekolah dengan wali murid (masyarakat) diawal penerimaan peserta didik baru penting dilakukan. Keempat, meningkatkan pembinaan terhadap guru negeri maupun swasta melalui pelatihan-pelatihan khusus secara merata dan berkeseimbangan. Seperti halnya bimtek perlindungan profesi yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Guru Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini.

Kelima, perlindungan profesi guru juga harus memperhatikan aspek kesejahteraan ekonomi. Selama ini kesejahteraan guru cenderung difokuskan untuk guru-guru dengan status PNS. Sementara guru Non-PNS atau Honorer masih jauh dari kata sejahtera. Hal ini merupakan ketimpangan yang sangat jelas, terlebih pada guru yang mengajar di sekolah swasta dan di daerah yang terpencil. Kita bisa bandingkan gaji pokok guru PNS dengan golongan III berkisaran diatas Rp. 3.000.000/bulan ditambah tunjangan-tunjangan lainnya. Sedangkan guru honorer hanya Rp. 300.000-an/bulan. Dimana beban dan tanggungjawab pekerjaan  yang persis sama. Untuk itu, harapannya kedepan ada perhatian yang lebih dari pemerintah dengan kebijakan-kebijakan untuk terwujudnya pemerataan yang berkeadilan.

Selain itu, upaya perlindungan profesi mestinya juga diperhatikan dari sudut pandang sosial-budaya. Membangun hubungan emosional yang harmonis dengan wali murid dan peserta didik menjadi bagian yang vital dalam penyelenggaraan pendidikan. Komunikasi yang intensif antara sekolah dengan masyarakat harus ditingkatkan. Sehingga hal-hal yang tidak diinginkan dapat dihindari dan diselesaikan secara bersama. Dengan demikian, apa yang menjadi cita-cita, tujuan, dan fungsi pendidikan sebagaimana yang telah diuraikan diawal dapat terwujud sesuai dengan harapan.

Comments